Dalam berbagai kisah dalam budaya populer, kita sering menggambarkan alkimia pada abad pertengahan sebagai suatu ilmu pengetahuan tak lazim, bahkan sebagai bentuk sihir. Tak hanya masyarakat umum, tetapi pandangan serupa juga pernah menghinggapi kalangan akademis.
Baca juga : Mungkinkah, Gajah Sumatra Terancam Punah?
Sebuah artikel yang diterbitkan di Big Think menyoroti keyakinan lama yang masih bertahan hingga saat ini. Penulis, Tim Brinkhof, menuliskan, “Hingga saat ini, kepercayaan dominan di kalangan cendekiawan abad pertengahan adalah bahwa alkimia harus dihitung di antara banyak kepercayaan takhayul yang membuat Abad Kegelapan tetap gelap sampai Revolusi Ilmiah datang.”
Namun, dalam penelitian terbaru, kita menemukan bahwa alkimia justru adalah sebuah proses yang jauh lebih rasional dan metodis daripada yang kita bayangkan.
“Alih-alih memperpanjang masa Abad Kegelapan, alkimia justru mempercepat perkembangan pemikiran ilmiah, studi empiris, dan Revolusi Ilmiah secara keseluruhan,” tambah Brinkhof.
Peran Transmutasi dalam Alkimia
Dalam konteks ini, salah satu hal utama yang perlu dipahami adalah obsesi alkimia terhadap “transmutasi.” Transmutasi adalah upaya awal manusia untuk memahami logika di balik reaksi kimia. Tanpa adanya alkimia, kemungkinan besar ilmu kimia tidak akan mencapai perkembangan seperti saat ini.
Sejarah Alkimia Abad Pertengahan
Akar Alkimia yang Jauh dari Eropa
Meskipun alkimia erat kaitannya dengan Eropa Abad Pertengahan, asal-usulnya sebenarnya jauh dari benua Eropa. Alkimia pertama kali muncul di Alexandria, sebuah kota metropolitan kuno yang terletak di Mesir modern. Para alkimis di Alexandria memadukan gagasan-gagasan filsafat Aristoteles dengan unsur-unsur pemikiran agama dan astronomi yang datang dari wilayah Timur.
Upaya Mencipta Kehidupan dan Logam Mulia
Secara umum, alkimia dapat didefinisikan sebagai upaya manusia untuk menciptakan benda-benda secara artifisial, termasuk logam mulia seperti perak dan emas, bahkan menciptakan kehidupan manusia.
Para alkimis, terinspirasi oleh konsep dari Yunani kuno, berusaha menciptakan emas dengan merubah logam-logam lain melalui proses kimia. Gagasan ini menyiratkan bahwa materi terdiri dari elemen-elemen yang saling berlawanan dan dapat disusun dalam suatu hirarki, dari yang paling dasar hingga yang paling murni. Namun, justru dari upaya-upaya ini, yang berhasil diciptakan oleh para alkemi adalah alkohol dan asam, bukan logam mulia yang mereka idamkan.
Baca juga : Mengelilingi Keunikan 7 Museum: Dari Mumi Hingga Karya Seni Gagal
Kesimpulan
Dalam budaya populer dan pandangan akademis, alkimia sering dianggap sebagai ilmu takhayul pada Abad Pertengahan. Namun, penelitian terbaru menunjukkan bahwa alkimia sebenarnya merupakan upaya rasional dan metodis yang mempercepat perkembangan pemikiran ilmiah. Obsesi alkimia terhadap “transmutasi” menjadi kontribusi penting dalam pemahaman reaksi kimia. Alkimia bermula di Alexandria, bukan Eropa, dan menggabungkan filsafat Aristoteles dengan unsur agama dan astronomi dari Timur. Alkimia mencoba menciptakan benda-benda artifisial, seperti logam mulia dan bahkan kehidupan manusia, dengan menggunakan gagasan tentang elemen dan hirarki dalam materi. Meskipun tidak mencapai tujuan awalnya, alkimia memainkan peran penting dalam sejarah perkembangan ilmu kimia.